BeritaTrend.id.|– Asahan – Potret buram supremasi hukum kembali mencuat di Kabupaten Asahan.
Dewan Pimpinan Pusat Laskar Pemuda Suara Pembaharuan (LPSP) Sumatera Utara menilai kinerja aparat penegak hukum di daerah itu semakin jauh dari harapan.
Pasalnya, berbagai laporan dugaan korupsi dana desa dari 177 desa di 25 kecamatan justru terkesan mandek, bahkan terparkir begitu saja di meja aparat hukum.
Menurut Roy, pendiri sekaligus anggota DPP LPSP, seharusnya kucuran dana desa dari pemerintah pusat menjadi urat nadi pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat.
Namun di lapangan, anggaran tersebut justru berubah menjadi “ladang basah” bagi sejumlah elite lokal.
“Masyarakat awam pun sudah tahu bahwa uang negara yang seharusnya untuk pembangunan malah dijadikan bancakan,” ujar Roy saat ditemui di Kisaran, Jumat, 19 September 2025.
Dugaan Skema Korupsi Berjamaah
Roy menilai indikasi praktik korupsi di Asahan bukan hal baru. Ia menyebut ada pola kerja sama tidak sehat antara kepala desa, sekretaris desa, bendahara, bahkan asosiasi perangkat desa seperti APDESI maupun PABDESI.
Mereka diduga berjejaring dengan oknum aparat penegak hukum dan pengawas dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD).
Beberapa kegiatan yang disinyalir bermasalah antara lain:
- Pengadaan Video Profil Potensi Desa senilai Rp 8,5 juta per desa × 177 desa.
- Kegiatan Life Skill Tata Boga sebesar Rp 35 juta per desa × 177 desa, hanya untuk dua hari kegiatan.
- Pengadaan Neon Box senilai Rp 17 juta per desa × 177 desa.
- Penyediaan Peta Desa Rp 15 juta per desa × 177 desa.
- Plang/Papan Pengumuman 3T Rp 1,5 juta per desa × 177 desa.
Jika dijumlahkan, total dugaan kerugian negara mencapai miliaran rupiah.
Namun hingga kini, laporan tersebut tidak kunjung ditindaklanjuti secara transparan.
BIMTEK Sebagai “Asuransi Hukum”
Lebih jauh, Roy mengungkap praktik “asuransi informal” yang diyakini menjadi jalan aman bagi sejumlah kepala desa untuk menghindari jeratan hukum.
Caranya, dengan mengikuti kegiatan Bimbingan Teknis (BIMTEK) yang kerap digelar 5–6 kali dalam setahun oleh lembaga vertikal, termasuk kejaksaan.
“Selama pernah ikut BIMTEK, seakan-akan mereka kebal hukum. Padahal, banyak program desa fiktif dan anggaran mark-up yang jelas-jelas merugikan negara,” katanya.
Laporan Mandek dan Jalan Buntu
Senada dengan itu, Wakil Ketua LSM Garuda Hitam Asahan, Satriawan Siregar, menyebut banyak laporan dugaan korupsi dana desa berhenti di jalan buntu.
Ia menilai proses hukum lambat, tidak transparan, dan sering hilang kabarnya.
“Masyarakat jadi melihat hukum di Kabupaten Asahan tidak berpihak kepada mereka. Yang terdengar justru negosiasi, bukan penindakan,” tegas Satriawan.
Pihaknya mendesak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) turun tangan memproses laporan penyalahgunaan wewenang dan dugaan penyelewengan anggaran desa tersebut.
“Jika perlu, kami siap membongkar lebih dalam sistem yang selama ini melindungi mereka,” ujar Satriawan.
Respons Pemkab Asahan
Untuk menjaga keseimbangan pemberitaan, awak media mencoba menghubungi Kepala Dinas PMD Asahan, Suherman, melalui pesan WhatsApp pada Minggu, 21 September 2025.
Namun hingga berita ini diturunkan, pesan yang dikirim belum mendapat respons.


