BeritaTrend.id. – JAKARTA – Ketegangan antara Indonesia dan Belanda mencapai puncaknya pada pertengahan 1947.
Dua bulan sebelum melancarkan Agresi Militer Belanda I, Negeri Kincir Angin itu mengirimkan nota ultimatum yang bersifat provokatif kepada Pemerintah Indonesia.
Langkah diplomatik yang disamarkan itu ternyata menjadi pemicu pecahnya perang terbuka pada 21 Juli 1947.
Dalam dokumen berisi lima poin tuntutan yang disampaikan melalui utusan Belanda, Dr. P.J.A Idenburg, pada 27 Mei 1947.
Belanda secara tersirat ingin mengatur kembali tatanan politik dan militer di wilayah Indonesia.
Pemerintah Republik hanya diberi waktu dua pekan untuk menanggapi.
Isi Ultimatum Belanda: Antara Penjajahan Gaya Baru atau Perang
Dikutip dari Kronik Revolusi Indonesia, inilah lima poin ultimatum tersebut:
- Pembentukan pemerintahan peralihan bersama antara Indonesia dan Belanda.
- Penghentian konflik dan kekacauan di wilayah hasil Konferensi Malino seperti Negara Indonesia Timur, Kalimantan, dan Bali.
- Pembahasan sistem pertahanan negara, dengan ketentuan sebagian kekuatan militer Belanda tetap berada di Indonesia.
- Pembentukan lembaga kepolisian gabungan untuk menjaga kepentingan domestik dan asing.
- Pengawasan bersama atas ekspor hasil perkebunan dan devisa negara.
Perdana Menteri saat itu, Sutan Sjahrir, menyikapi ultimatum dengan dilema berat: menyerah atau mengangkat senjata.
Namun, tekanan politik dan militer yang terus meningkat membuat posisi Sjahrir melemah, hingga kabinetnya tumbang karena kehilangan kepercayaan rakyat.
Amir Sjarifoeddin Diam, Belanda Menyerbu
Pada 15 Juli 1947, Belanda kembali mengirim ultimatum baru: TNI harus menarik pasukan sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi.
Kali ini, PM Amir Sjarifoeddin yang menggantikan Sjahrir memilih tidak merespons.
Keputusan bungkam ini menjadi lampu hijau bagi Belanda untuk melancarkan serangan militer bertajuk Operatie Produkt—sebuah agresi bersandi ofensif yang dikenal dalam sejarah sebagai Agresi Militer Belanda I.
Pada 21 Juli 1947, sekitar 100 ribu tentara Belanda yang dilengkapi peralatan tempur modern menyerbu wilayah Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatra.
Meski dihadapkan pada kekuatan tak seimbang, rakyat bersama TNI menunjukkan perlawanan gigih demi mempertahankan kedaulatan yang baru diraih.
Diplomasi ke PBB: Indonesia Tak Sendiri
Pemerintah RI tak tinggal diam. Delegasi Indonesia yang dipimpin Sutan Sjahrir dan H. Agus Salim segera berangkat ke Sidang Dewan Keamanan PBB.
Usaha diplomatik ini membuahkan hasil: PBB memerintahkan Belanda menghentikan serangan pada 1 Agustus 1947 dan menginstruksikan gencatan senjata tiga hari kemudian.
Namun, ambisi militer Belanda tak serta-merta padam.
Jenderal Simon Hendrik Spoor, Kepala Staf Angkatan Perang Belanda di Indonesia, sempat berencana menggempur Yogyakarta—ibu kota RI saat itu.
Rencana itu ditolak oleh pemerintah sipil Belanda. Spoor baru berhasil menguasai Yogyakarta pada Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948.


